Kurasakan tanganku
sedikit gemetar, saat tak sengaja menyentuh selendang biru tua di
dalam rak bawah meja kerjaku. Selendang yang hingga saat
ini masih terlihat sempurna tanpa cacat dalam lipatanya.
Mulai
ku terhanyut dalam lamunan 19
tahun yang lalu, saat seorang wanita muda mendatangiku sambil menggendong
seorang bayi mungil yang sekarang memanggilku “ibu”. Ibu yang terlalu egois karna tidak mempertemukannya dengan
ibu yang sesungguhnya. Karna jauh dalam lubuk hatiku, aku takkan rela, jika
anakku memanggil wanita jalang itu sama seperti saat
dia memanggilku, ibu.
Kala itu Maliq berusia dua bulan, saat wanita jalang itu membawanya
kepadaku. Nasib yang malang untuk seorang anak yang lahir dari seorang wanita
career berpendidikan tinggi, dan tak pernah mengenal ayahnya.
Tok…tok…tok…
Terdengar suara ketokan pintu yang sedikit mengagetkanku. Meskipun malam itu gerimis, tentu tidak mengganggu suara ketokan pintu yang terdengar keras itu.
Segera aku lari ke depan, untuk mengetahui siapa orang
yang datang tengah malam itu. Pastilah hal penting dan harus segera aku tahu.
Terkejut saat ku melihat wanita yang sangat aku kenali berada didepan
pintu dengan keadaan yang sungguh berantakan. Pakaianya sedikit basah, dan
mukanya benar-benar pucat. Keterkejutanku kian bertambah, saat menyadari wanita
itu mengendong seorang bayi kecil yang tertidur pulas, seakan tak terganggu
dengan dinginya malam itu.
Dan wanita itupun sama terkejutnya dengaku, saat melihat perutku yang buncit. Tapi hanya sekilas, dan sedetik kemudian, dia kembali menatapku dengan tatapan yang aku sendiri tidak paham, apa maksudnya.
jujur saja aku sangat senang melihatnya, kerinduanku setelah hampir tiga tahun tak
pernah ada kabar darinya terobati. Dialah wanita hebat yang sangat aku kagumi.
Dia begitu mandiri dalam segala hal. Dia tak pernah mengeluh sedikitpun dengan
segala kekuranganya. Dia cukup cerdas, terbukti mendapatkan beasiswa dari
sebuah Bank Swasta mulai S1, hingga S2, di Ibukota. Benar-benar beruntung anak itu.
“Masuklah Hera, diluar sangat dingin”, ucap ku kepadanya.
“Ti...tidak, aku tidak akan lama disini. Aku harus segera pergi.” Jawabnya
sedikit terbata.
Aku bingung dengan keadaanya. Dia sangat berbeda dengan Hera yang dulu
aku kenal. Seakan dia membangun tembok pembatas agar ku tak mampu menengok
kedalaman hatinya.
“Bolehkah aku merepotkanmu lagi?” ucapnya masih terbata.
“Ini yang terakhir, aku janji!”, ucapnya lagi, tanpa memberiku
kesempatan menjawab.
“Apapun! Apapun yang kamu minta!” jawabku mulai panik dengan permintaan
anehnya.
Terlihat sedikit senyuman dari sudut bibirnya. Namun hanya sekejap, dan
kembali lagi dengan bibir pucat yang menyedihkan.
Gerimis yang mulai menjadi hujan tidak lagi kuhiraukan. Menanti
permintaan wanita didepanku sungguh lebih penting dari apapun.
“Berapa usia kandunganmu?”, pertanyaan yang tiba-tiba membelok itu
mengagetkanku.
“Hampir sembilan bulan Ra”, jawabku sambil mengelus janin anak perempuanku, dan tanpa sadar membuatku tersenyum.
Senyuman itu hanya sebentar, setelah aku menyadari, kesedihan wanita
yang ada dihadapanku.
Lagi-lagi Hera terlihat gusar, dan memandangku dengan tatapan aneh.
“Ijinkan anakku memanggilmu Ibu.” Ucapnya yang sontak membuatku kaget.
Belum sempat aku mejawab, dia kembali mengiba, “Dan biarkan dia menjadi
kakak untuk anakmu, biarkan dia berbakti kepadamu, biarkan dia merasakan
hangatnya kasih sayang wanita sepertimu.”
Aku mulai membaca situasi. Meskipun raut muka ku mengisyaratkan banyak
pertanyaan, aku memilih diam. Tanpa bertanya apapun.
Tangisnya meledak saat itu pula. Aku yang mulai memahami keadanya tak
mampu berkata apapun. Melihatnya menangis, membuatku merenguhnya dalam pelukanku.
Tapi dia menolak, dan segera berlari meninggalkanku, setelah memberikan
bayi laki-laki itu kepadaku.
Aku tak mungkin mengejarnya dengan kondisiku seperti saat itu. Ditambah
guyuran hujan yang kian besar serta kilat yang mulai muncul beriringan.
Aku menangis malam itu.
Tangisan keduaku setelah kematian suamiku empat bulan yang lalu.
Tujuh tahun setelah peristiwa itu, kedua anak laki-laki dan perempuanku,
Maliq dan Isyaa tumbuh sangat cepat. Dan mereka tidak akan pernah tahu, bahwa
mereka terlahir dari dua rahim yang berbeda. Aku mengenalkaan kepada semua
orang, bahwa mereka adalah kembar. Tidak pernah ada yang meragukanya, didukung
dengan kemiripan mereka dalam berbagai hal. Mulai dari fisik hingga tingkah
laku mereka berdua.
Selama itu pula aku tak pernah bertemu Hera. Bagaimana keadaanya, apa
pekerjaanya, dan hidup dengan siapa dia, aku tidak tahu.
Hingga suatu hari, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang ternyata
dia adalah teman kantor Hera di Australia. Aku mengajaknya kerumah, untuk
menanyakan kabar tentang Hera yang telah lama menghilang.
Dalam hatiku, aku sangat senang dan bahagia mendengar kabar Hera baik-baik
saja, meskipun telah memilih berkewarganegaraan Australia.
Saat laki-laki itu masuk kerumahku, sontak dia kaget saat dia melihat
foto pernikahanku yang tertampang besar di ruang tamu.
“Maaf, apa wanita di dalam foto itu anda?”, ucapnya sedikit ragu.
Aku tidak menjawab, dan hanya tersenyum dan sedikit menganggukkan
kepala.
“Kenapa anda berfoto dengan suami Hera? Sebenarnya apa yang terjadi?”,
pertanyaanya yang tiba-tiba itu mengagetkanku.
“Hah, Apa maksud anda?”, jawabku bingung.
“Dia suamiku, yang meninggal tujuh tahun yang lalu, bahkan sebelum
anak-anaku lahir”
Ternyata jawabanku itu mengagetkannya.
“Jadi, laki-laki itu bukan Suami Hera?” Pertanyaan yang tidak
membutuhkan jawaban.
Kami terdiam. Tanpa ada pembicaraan sedikitpun.
Kenangan masa lalu tiba-tiba kembali, bukan sebagai kenangan yang selalu
kurindukan disetiap hari, tapi kenangan yang menyakitkan dan menghancurkanku
saat itu juga.
Aku tak menyangka, suamiku memiliki orang lain sebagai pendampingnya,
selain diriku.
Kehidupan masa lalu yang bahagia serasa hambar seketika.
Jauh dalam lubuk hatiku, aku tak akan pernah mampu membenci wanita
jalang itu. Yang telah sempurna mengambil suamiku tanpa aku tahu. Meskipun kenyataan
pahit aku pendam sendirian. Tanpa ada siapapun yang tahu.
Ingatanku melayang pada Maliq, bocah laki-laki yang sejak tujuh tahun
lalu aku rawat dan aku jaga sepenuh hati. Dia tak pernah merepotkanku, dia anak
manis yang selalu bersama-sama dengan anak kandungku, Isyaa.
Dan tiba-tiba aku teringat dengan pertanyaan Maliq suatu sore, di Taman Kota, “Kenapa Ayah ninggalin ibu?”
"Enggak kok Maliq, Ayah cuma pergi ke tempat Tuhan berada." Jawabku sedikit bingung.
"Apa Ayah bisa kembali?" Pertanyaan Maliq semakin membuatku gusar. tapi aku memilih untuk diam, dan hanya tersenyum, tok anak itu tidak pernah mempeributkan hal itu lagi.
Pertanyaan yang seharusnya tak memiliki ancaman itu, merupakan pertanda
kecil yang tak kusadari. Yang membawaku pada kebencian yang aku sendiri juga
membencinya.
Wanita jalang itulah adikku, adikku yang selalu aku jaga hingga ia
dewasa, sampai akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri di pusat kota
metropolitan bersama pilihan hidupnya, ialah suamiku.
Komentar
Posting Komentar